Headlines News :
Home » » Pengantar Ilmu Tafsir

Pengantar Ilmu Tafsir

Written By Unknown on Selasa, 09 Juli 2013 | 00.57

Al-Qur’an adalah kitab suci agama Islam yang dijadikan sebagai pedoman hidup yang paling fundamental (manhaj al-hayat al-asasi). Ia diturunkan  oleh Allah swt  sebagai petunjuk (al-huda), cahaya penerang (an-nur), bukti (al-burhan), penyembuh (asy-syifa’) dan pembeda antara yanng haq dengan yang batil (al-furqon). Keberadaan al-Qur’an juga diperuntukkan sebagai sumber hukum bagi manusia (dustur lil ummah), hidayah bagi makhluk sekaligus sebagai tanda kebenaran risalah Rasul saw. Ia adalah mu’jizat yang abadi sepanjang kurun dan masa.
Dalam menginterpretasi teks suci, dibutuhkan adanya penafsiran. Demikian juga dengan al-Qur’an. Tafsir al-Qur’an memiliki peran yang sangat signifikan dalam menjabarkan firman Allah. Tafsir secara etimologi berasal dari bahasa Arab,fassara, yang bemakna menerangkan atau menjelaskan. Sedang secara terminologi, tafsir merujuk kepada ilmu yang dengannya membantu memahami kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, makna-makna, hukum-hukum dan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya. Orang yang menafsirkan disebut mufassir.
Secara historis, ilmu pertama yang lahir di kalangan umat Islam adalah ilmu tafsir. Ilmu tafsir al-Qur’an sangat urgen karena ia merupakan ilmu asas  yang di atasnya dibangun keseluruhan struktur, tujuan, pandangan hidup dan peradaban Islam. Itulah sebabnya mengapa Imam at-Thobari (W 310 H) menganggapnya sebagai ilmu yang terpenting dibandingkan dengan ilmu lainnya. Alasan lainnya, tafsir adalah satu-satunya ilmu yang berhubungan langsung dengan Nabi saw, sebab Beliau diperintahkan Allah swt untuk menyampaikan risalah kenabian, “agar Kamu (Muhammad) dapat menjelaskan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka”(QS. An-Nahl 44). Para sahabat langsung mendatangi Beliau bila terjadi permasalahn pelik yang menimpa mereka. Di samping itu, Nabi saw menafsirkan  sendiri ayat-ayat al-Qur’an yang menurut hemat beliau memang membutuhkan penjelasan, baik itu bentuknya verbal atau perbuatan yang kemudian menjadisunnah.
Selepas wafatnya Nabi saw, tongkat estafet penafsiran dilanjutkan oleh para sahabat. Dalam menafsirkan al-Qur’an, mereka berpedoman pada metodologi Nabi, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an lalu al-Qur’an dengan hadis. Bila tidak menemukan pada keduanya, barulah mereka berijtihad. Dengan ini para sahabat tidak serampangan dalam menafsirkan. Mereka amat berhati-hati. “Bumi mana yang membawaku dan langit mana yang menaungiku jika aku mengatakan dalam Kitab Allah apa yang tidak aku ketahui” ujar Abu Bakar ra. Dalam al-Itqon karya Imam as-Suyuthi, para mufassir ternama di kalangan sahabat berjumlah 10 orang: kholifah yang empat, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, zaid bin Tsabit, Abu Musa al-As’ari dan Abdullah bin az-Zubair. Sedang riwayat yang paling banyak sampai kepada kita di antara khulafaurrasyidin adalah berasal dari Ali bin Abi Thalib. Ini disebabkan khalifah sebelunya wafat terlebih dahulu.
Fase penafsiran berikutnya dilanjutkan oleh para Tabi’in. Mereka tersebar ke berbagai lokasi. Tabi’in Makkah seperti Sa’id bi Jubair (W 95 H), Mujahid bin Jabar (w 104 H), Ikrimah maula Ibnu Abbas (105 H), Thawus bin Kisan al-Yamani dan Atha’ bin Robi’ah (114 H). Mereka adalah hasil didikan intensif Ibnu Abbas. Tabi’in Madinah seperti  Zaid bin Aslam, Abu al-Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi meriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab. Tabi’in Iraq seperti Ilqimah bin Qais, masruq, al-Aswaq bin Yazid, Murah al-Hamzani, Qotadah dan Hasan al-Bashri mengambil riwayat Abdullah bin Mas’ud.
Sejarah Penulisan dan Jenis Kitab Tafsir
                Menurut Ibnu Nadim, seorang sejarawan Muslim ternama, tafsir yang sudah ditulis oleh pengarangnya sendiri dan termasuk yang paling awal adalah karya Sa’id bin Jubair (W 95 H), seorang kibar at-tabi’in. Karya ini ditulis atas permintaan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (84 H). Namun karya ini tidak sampai ke tangan kita. Karya tafsir yang termasuk paling tua dan sampai ke tangan kita sekarang dan ditulis oleh pengarangnya sendiri adalah potongan dari al-Wujuh wa an-Naza’ir karya Muqotil bin Sulaiman al-Balkhi (150 H) selain karya tersebut, beliau juga menulis beberapa karya tafsir seperti Khomsumi’ah Ayah min al-Qur’an, at-Tafsir fi Mutasyabih al-Qur’an dan at-Tafsir al-Kabir. Karangan beliau ini menjadi pijakan para ulama lain, termasuk di antaranya Imam Sufyan bin Uyainah (198 H), Imam as-Syafi’i (204 H) dan Imam Ahmad.
                Sezaman dengan Muqotil sendiri, sudah terdapat banyak mufassir lain. Di antaranya adalah Abdurrahman al-Suddi (127 H), Muhammad bin al-Sa’ib al-Kalbi (146 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (160 H), Sufyan ats-Thauri (161 H) dan Ibnu Ishaq, ahli siroh terkenal. Selain karya Muqotil itu, terdapat juga berbagai karya tafsir yang dinisbatkan kepada para pengarangnya seperti al-Farra (207 H) dengan karyanya Ma’ani al-Qur’an,Abdurrazzaq al-San’ani dengan karyanya Tafsir al-Qur’an dan al-Akhfash al-Ausath dengan  Ma’ani al-Qur’an.
                Bagaimanapun sejak abad pertama sampai abad ketiga Hijriah, belum ada yang menulis tafsir secara utuh dari surat al-Fatihah sampai an-Nas. Penulisan secara utuh baru dimulai pada abad keempat hijriah. Ini pertama kali dipelopori oleh Ibnu Jarir at-Thobari (310H) dalam karya monumentalnya Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an. Beliau menggunakan metode isnad dalam penafsirannya. Tujuannya agar tafsiran beliau tidak serampangan dan tetap berpegang pada penafsiran yang otoritatif (hadis Nabi, komentar para sahabat dan tabi’in). Pendekatan Beliau ini diikuti oleh Ibnu Katsir (774 H) dalam tafsirnya Tafsir al-Qur’an al-Adzim dan Jalaluddin as-Suyuthi (911 H) dalam ad-Durr al-Mantsur fi at-Tafsir bi al-Ma’tsur. Metode penafsiran semacam inilah yang disebut dengan at-Tafsir bi ar-Riwayah atau at-Tafsir bi al-Ma’tsur.
                Ulama terdahulu menyamakan antara tafsir dengan ta’wil, contohnya Imam at-Thobari . beliau menulis dalam tafsirnya, “pendapat atas ta’wilan ayat ini” atau “para ahli ta’wil berbeda pendapat dalam ayat ini.” Ta’wil yang beliau maksud di sini adalah tafsir. Pemahaman ini berdasarkan doa Nabi saw untuk Ibnu Abbas,Allohumma faqqihhu fiddin wa allimhu at-ta’wil (ya Allah, jadikanlah ia fahih dalam agama dan ajarkanlah ia ta’wil yaitu tafsir).
                Adapun ulama muta’akhirin membedakan antara keduanya. Ta’wil adalah penjelasan terhadap sebagian makna dari ayat al-Qur’an yang mengandung beberapa pengertian. Dalam definisi lain, tafsir adalah mengungkap makna-makna zahir dalam al- Qur’an. Sedang ta’wil merupakan hasil istinbath para ulama terhadap makna yang tersembunyi dan yang mengandung rahasia dari ayat-ayat al-Qur’an. Demikian menurut as-Suyuthi dalam al-Itqon. Pendapat ini dikuatkan oleh al-Alusi (1270 H) dalam Tafsir Ruh al-Ma’ani.
                Di samping metodologi yang ditempuh oleh Imam at-Thobari, sebagian mufassir setelah beliau memilih metode Tafsir bi ad-Diroyah atau Tafsir bi ar-Ro’yi. Metode ini mengoptimalkan ijtihad yang dibangun atas dasar-dasar yang shahih dan kaidah-kaidah yang bisa diterima. Jadi  bukan semata-mata berpegang pada rasio bebas atau kepentingan ijtihad pribadi yang bertentangan dengan riwayat yang shahih. Karena Nabi saw pernah mewanti-wanti,”barangsiapa yang berkata tentang al-Qur’an semata-mata karena rasionya, maka bersiaplah mengambil tempat duduknya di neraka.”(HR. Bukhori)
                Karya tafsir yang menggunakan metode ini di antaranya: Mafatih al-Goib karya Muhammad bin Umar ar-Razi (606 H), Anwar at-Tanzil karya al-Baidhawi (675 H), Madariq at-Tanzil wa Madariq at-Tanzil karya an-Nasafy (701 H),al-Bahru al-Muhith karya Ibnu Hayyan al-Andulisy dan Tafsir Jalalain karya Jalaluddin as-Sayuthi dan Jalaluddin al-Mahalli (864 H).
                Jenis ketiga dari metodologi tafsir adalah At-Tafsir al-Isyari.  Definisinya adalah ta’wil terhadap al-Qur’an yang berbeda dengan zhohir nash yang ada berdasarkan atas isyarat tersembunyi. Isyarat itu hanya bisa difahami oleh sebagian ahli ilmu yang ‘arif billah lagi bersih hatinya. Dalam metode ini, mufassir memandang pengertian yang berbeda dari zhohir ayat. Hanya ulama yang diberi bashiroh (petunjuk) oleh Allah sajalah yang mampu mengungkap isyarat tersebut.
                Di kalangan ulama sendiri, tafsir al-isyari ini menjadi polemik antara yang membolehkan dan yang melarang. Bagi ulama yang membolehkan telah menetapkan dua syarat diterimanya tafsir ini, pertama: tidak menafikan makna zhohir ayat al-Qur’an. Kedua: tidak ada klaim bahwa ialah satu-satunya penafsiran yang shahih bukan yang lainnya. Namun terkadang banyak para zindiq dan kaum ektrim dari golongan tasauf dan Syiah menggunakan tafsir jenis ini untuk menjustifikasi kesesatan mereka. Ada pula yang berdalih dengannya guna berlepas diri dari syariat Islam. Di antara Tafsir al-Isyari yang ada adalah al-Kasyfu wa al-Bayan karya an-Nisaburi, Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi dan at-Tafsir al-Qur’an al-Adzim karya at-Tasturi.
                Selain tafsir al-Qur’an, ilmu-ilmu penunjang tafsir juga telah dirumuskan secara mapan. Kajian secara lebih khusus dan sistematis terangkum dalam ulum al-Qur’an. Para ulama telah memilah-milah beberapa aspek terpenting seperti asbab an-nuzul,al-Makiyyah wa al-Madaniah, an-nasikh wa al-mansukh, al-muhkam dan al-mutasyabih, i’jaz al-Qur’an, i’rob al-Qur’an, qiroaah al-Qur’an, amtsal al-Qur’an, gharaib al-Qur’an dan lain-lain.
                Mengingat bahwa mentafsirkan al-Qur’an adalah pekerjaan berat, para ulama menetapkan kualifikasi seseorang layak menjadi seorang mufassir. Setidaknya ia harus menguasai ushuluddin, mendalami Nahwu, sharf dan istihqoq, juga menguasai  ushul fiqh, asbabun nuzul, nasikh dan mansukh, ilmu qiroat, hadis dan fiqh. Tujuannya adalah agar mufassir bisa menjaga keilmiahan karyanya sekaligus berperan memelihara keotientikan al-Qur’an.
     Pemaparan di atas menunjukkan bahwa tafsir beserta ulum al-qur’an telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang sangat matang. Ia adalah bagian yang tak terpisahkan dari Islam. Karena ia sudah lahir sejak wahyu belum diturunkan secara sempurna. Memang sebagai mu’jizat yang abadi, al-Qur’an telah, sedang dan akan selalu ditafsirkan. Karena Ia senantiasa memberikan aspirasi baru yang up to date terhadap fenomena zaman yang ternyata sesuai dengannya. Karena itu penafsirannya tidak akan terhenti dan akan terus menerus diulas dari berbagai perspektif cabang ilmu yang berbeda. Tentu dalam koridor yang sudah ditetapkan oleh para ahli tafsir melalui kaedah-kaedah yang sudah baku dan mapan.
Wallohu A’lamu bi as-Showab
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Pengikut


 
Support : Creating Website | FUMI Template | FUMI Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. FUMI - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by FUMI Template